Tradisi “Pesta” dalam Upacara Kematian Suku Batak

Tradisi “Pesta” dalam Upacara Kematian Suku Batak
Kehidupan
terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi
paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup
hingga masa kini (Sumardjo,2002:107). Kematian merupakan akhir dari perjalanan
hidup manusia. Maka kematian pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang
semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau lambat akan menjemput
kehidupan dari masing-masing manusia.
Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.
Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.
Pada
masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah
unik dan sangat khas. Ya, adat budaya kematian suku Batak memang beda dari
kebanyakan suku yang ada di Indonesia.
Dalam
tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam
sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi
berdasarkan usia dan status orang yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal
ketika masih dalam kandungan (mate di
bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa
peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate
poso-poso), mati saat anak-anak (mate
dakdanak), mati saat remaja (mate bulung),
dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate
ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat :
mayatnya ditutupi selembar ulos
(kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang
tuanya, sedangkan untuk mate
dakdanak dan mate bulung,
ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si
orang yang meninggal.
Upacara adat
kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati: 1.
Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate
di paralang-alangan/mate punu),
2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), 3. Telah memiliki
anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon), 4. Telah
memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan 5. Telah
bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya (mate
saur matua).
Pada masa
megalitik, kematian seseorang pada usia tua yang telah memiliki keturunan, akan
mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena kedudukannya kelak
adalah sebagai leluhur yang disembah. Hal itu terindikasi dari banyaknya temuan
kubur-kubur megalitik dengan patung-patung leluhur sebagai objek pemujaan
(Soejono,1984:24).
Mate Saur
matua menjadi tingkat tertinggi dari
klasifikasi upacara bagi masyarakat Batak (terkhusus Batak Toba), karena mati
saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian
tertinggi diatasnya, yaitu mate saur
matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga,
dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan
dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya dianggap sama
sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak
lagi).
Dalam
kondisi seperti inilah, masyarakat Batak mengadakan pesta untuk orang yang
meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal
tersebut memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan dan ini
disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada, tapi mengingat
meninggalnya memang dikarenakan proses alami (sudah tua) maka kesedihan tidak
akan berlarut-larut. Ibaratnya, orang yang meninggal dalam status saur matua,
hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/LUNAS. Dalam masyarakat Batak,
hutang orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang seseorang
itu LUNAS, maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.
Masyarakat
Batak biasanya mengadakan acara seperti acara pernikahan, dengan menampilkan
alat musik berupa organ untuk bernyanyi, makan makan seperti menyembelih hewan,
minum minuman tradisional seperti tuak. Alat musik organ digunakan di daerah
perantauan umumnya, namun di daerah aslinya, Sumatera Utara, gondang sebagai
alat musik khas Bataklah yang digunakan. Ini semata-mata karena alat musik
gondag yang sulit ditemukan di daerah perantauan. Untuk peyembelihan hewan,
juga ada kekhasannya. Masyarakat Batak secara tersirat seperti punya simbol
tentang hewan yang disembelih pada upacara adat orang yang meninggal dalam
status saur matua ini. Biasanya, kerbau atau sapi akan disembelih oleh keluarga
Batak (terkhusus Batak Toba) yang anak-anak dari yang meninggal terbilang
sukses hidupnya (orang mampu). Namun, jika kerbau yang disembelih, maka
anggapan orang terhadap keluarga yang ditinggalkan akan lebih positif, yang
berarti anak-anak yang ditinggalkan sudah sangat sukses di perantauan sana.
Ketika
seseorang masyarakat Batak mati saur matua,
maka sewajarnya pihak-pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah
keluarga (martonggo raja),
membahas persiapan pengadaan upacara saur matua.
Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan
natolu. Dalihan natolu adalah
sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur
kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula
(kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan
tubu (kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan
pihak boru (kelompok orang-orang dari
pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan
pihak ayah). Martonggo raja
dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari
sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan
sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan
turut membantu dalam penyelenggaraan upacara). Rapat membahas penentuan waktu
pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan
keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis
menyangkut penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan
alat musik beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang
menghadiri upacara, dsb.
Pelaksanaan
upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan ketika
seluruh putra-putri orang yang mati saur matua
dan pihak hula-hula (saudara laki-laki dari
pihak isteri) telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat
Batak merantau, sering terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara
(sebelum dikuburkan), demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah
berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo
raja dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan
pelaksanaan puncak upacara saur matua
sebelum dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat
dibarengi dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti
masyarakat non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada
siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah
duka).
Jenazah yang
telah dimasukkan ke dalam peti mati diletakkan di tengah-tengah seluruh anak
dan cucu, dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Di
sebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan
anaknya masing-masing, dan di sebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan
para suami dan anaknya masing-masing. Di sinilah dimulai rangkaian upacara saur matua. Ketika seluruh
pelayat dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan
makan siang). Jamuan makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara
menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan
kurban yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh para parhobas
(orang-orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah
jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar
(hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar
terdiri dari empat jenis berupa : juhut
(daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara)
(Marbun&Hutapea,1987:66–67). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari
jambar sesuai ketentuan adat.
Pembagian jambar hepeng tidak
wajib, karena pembagian jambar juhut
dianggap menggantikan jambar
hepeng. Namun bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.
Selepas
ritus pembagian jambar juhut,
dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata
berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada
anak-anak orang yang meninggal saur matua
(pihak hasuhuton). Urutan
kata dimulai dari hula-hula,
dilanjutkan dengan dongan sahuta,
kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap
pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar
tor-tor, yaitu ritus manortor
(menarikan tarian tor-tor). Tor-tor adalah tarian tradisional
khas Batak. Tarian tor-tor biasanya
diiringi musik dari gondang sabangunan
(alat musik tradisional khas Batak). Gondang
sabangunan adalah orkes musik tradisional Batak, terdiri dari
seperangkat instrumen yakni : 4 ogung,
1 hesek , 5 taganing, 1 odap, 1 gondang, 1 sarune.
Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat
selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing
pihak yang memberikan jambar hata
dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya,
salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap
peralihan mangampu dari satu
pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor.
Manortor dilakukan dengan sambil
menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai
tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.
Setelah
semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan
menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat). Ibadah
bisa dilakukan di tempat itu juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi
perkuburan. Hal ini menyesuaikan kondisi, namun prinsipnya sama saja. Maka
sebelum peti dimasukkan ke dalam lobang tanah (yang sudah digali sebelumnya),
ibadah singkat dilaksanakan (berdoa), barulah jenazah yang sudah di dalam peti
yang tertutup dikuburkan.
Baca Juga : Tari Tortor Sumatera Utara
Baca Juga : Tari Tortor Sumatera Utara
Sepulang
dari pekuburan, dilakukan ritual adat ungkap
hombung. Adat ungkap
hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si
mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini, telah
memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh
pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan
atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang
kematian orang tua yang tergolong saur matua
hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.
Ini adalah
bagian dari ritual kematian adat Batak, khususnya Batak Toba. Memang unik,
tetapi itu nyata dan saya melihat serta pernah mengikuti prosesi ini sendiri.
Kematian yang seharusnya dengan air mata akan penuh dengan canda tawa dan
riuhnya pesta pakai musik, layaknya pesta pernikahan, hanya jika mendiang
meninggal dalam status SAUR MATUA tadi. Ya, ini memang adatnya, kita tidak
mungkin menolak ataupun menentangnya. Tetapi saya bangga memiliki budaya
seperti ini, penuh kekhasan yang tidak ada di negara lain di dunia ini.
Post a Comment for "Tradisi “Pesta” dalam Upacara Kematian Suku Batak"