Legenda – Beru Ginting Sopo Mbelin

Untuk memperbaiki kehidupan
keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia
mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya
ini memang berhasil.
Keberhasilan Ginting Mergana
ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru
meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia.
Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring.
Empat hari setelah kematian
Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting
sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu.
Beru Ginting Sope Mbelin pun
tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan
sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua beres.
Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin,
tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya
bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Ada-ada saja upaya dibuat
oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin,
bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat
dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat
mengerjakannya dengan baik dan cepat – karena selalu dibantu oleh temannya Beru
Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan
pakciknya.
Untuk mengambil hati makcik
dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk “aron” atau “kerabat
kerja tani gotong royong” yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting
Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana.
Niat jahat makcik dan
pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru
Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya
membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya.
Di tengah jalan Beru Ginting
Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini
memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar
selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak.
Kemudian sampailah Beru
Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu
Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu
Mbulan secara adat.
Selanjutnya sampailah Beru
Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang
berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli
Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope
Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan
tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun
dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat
berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang
yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali.
Perjalanan pun dilanjutkan.
Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang
kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual
dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru
Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual.
Beru Ginting Sope Mbelin
meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik
gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau
yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting
Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh.
Beru Ginting Sope Mbelin
dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua – yang
bernama Nenek Uban – pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau
memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini
mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini.
Atas petunjuk Nenek Uban ini
maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek
Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau “guru mbelin”. Sesampainya di
sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: “Mari cucu, mari, jangan
menangis, jangan takut” dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala
riwayat hidupnya.
Beru Ginting Sope Mbelin pun
menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan
rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin
mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi
hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena
itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : “tanya saja pada nenek saya
itu”. Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: “tanya saja pada cucu saya
itu!”. Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi
datang melamar.
Ternyata antara Beru Ginting
Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah
sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang “tanya saja pada
dia!” Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikimpoikan asal
dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan
hal itu.
Akhirnya, nenek Datuk Rubia
Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting
Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung
Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikimpoikanlah oleh nenek Datuk
Rubia Gande menjadi suami-istri.
Setelah beberapa hari,
bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan
pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan
cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta
merestui keberangkatan mereka.
Berangkatlah Beru Ginting
Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan
beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu
meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu
Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui
simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ.
Sampailah mereka di antara
Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak
Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu
mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope
Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka
dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo
Mergana.
Jadinya, Beru Ginting Sope
Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan
Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring
yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung
Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang
lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope
Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan
prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati.
Ternyata pakcik Beru Ginting
Sope Mbelin dulu – yang juga seorang dukun – mempunyai firasat yang kurang baik
terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di
kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para
rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Pakcik dan makcik Beru
Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi
pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat
malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke
kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana.
Berbagai bunyi-bunyian pun
dimainkan, terutama sekali “gendang tradisional” Karo serta diiringi dengan
tarian, antara lain:
a. gendang si ngarak-ngaraki;
b. gendang perang si perangen;
c. gendan perang musuh;
d. gendang mulih-mulih;
e. gendang ujung perang;
f. gendang rakut;
g. gendang jumpa malem;
h. gendang morah-morah;
i. gendang tungo-tungko.
Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri.
b. gendang perang si perangen;
c. gendan perang musuh;
d. gendang mulih-mulih;
e. gendang ujung perang;
f. gendang rakut;
g. gendang jumpa malem;
h. gendang morah-morah;
i. gendang tungo-tungko.
Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri.
Post a Comment for "Legenda – Beru Ginting Sopo Mbelin"